Bersyukur
itu Menenangkan dan Mengusir Keluh Kesah
Sebelum engkau melangkah terlalu jauh dari negerimu
Sebelum engkau memiliki cita-cita besar
Sebelum engkau terlalu angkuh
Sebelum engkau terlalu banyak mengeluh
Sebelum engkau memiliki cita-cita besar
Sebelum engkau terlalu angkuh
Sebelum engkau terlalu banyak mengeluh
Hari ini kukendarai
keretaku menuju suatu tempat. Melewati perempatan lampu merah yang berada tak
jauh dari gang rumahku. Sebuah pemandangan yang biasa ketika kulihat seorang
Bapak-bapak (maaf) yang tubuhnya tak terlihat layaknya manusia kebanyakan.
Sulit bagiku menggambarkan karena dengan mengingatnya saja ada gemuruh yang
tertahan dalam dada. Tapi bagiku, beliau adalah laki-laki hebat yang mungkin
karena kehebatannya itulah, krna kehebatan akan ketabahannya menerima takdir
yang demikian itulah yang membuat beliau menjadi salah satu laki-laki terhebat
di mataku.
Teman,mungkin kalau saya ataupun kita yang mengemban takdir yang beliau pikul sekarang, kita tidak akan sanggup menerimanya. Dan mungkin krna itu jugalah Tuhan tidak memberikan cobaan seperti yang beliau terima. Karena kita terlalu lemah. Karena kita tidak sekuat beliau.
Teman,mungkin kalau saya ataupun kita yang mengemban takdir yang beliau pikul sekarang, kita tidak akan sanggup menerimanya. Dan mungkin krna itu jugalah Tuhan tidak memberikan cobaan seperti yang beliau terima. Karena kita terlalu lemah. Karena kita tidak sekuat beliau.
Kuseberangi
perempatan jalan itu. Di seberang, kulihat lagi beberapa Bapak-bapak (maaf)
pengemis yang tak biasanya kulihat di sana. Itu artinya semakin bertambahlah
jumlah mereka yang mengharap ada rasa kasihan dan kesadaran saudara-saudaranya
untuk membagi sebagian kecil rezeki yang dititipkan Tuhan kepada mereka. Wajah
mereka menua. Entah memang karena umur mereka yang telah hampir mencapai
puncaknya ataukah karena kerasnya hidup yang mereka lalui sehingga wajah itupun
tampak lusuh dan tak sesegar seperti umur mereka yang sebenarnya.
Seorang Bapak yang
kuceritakan di atas, seorang Bapak yang tangannya cacat sejak lahir, seorang
Bapak berpakaian lusuh dg wajah menghiba sambil membawa kotak infak, dan
seorang Bapak yang hanya bisa terduduk sembari menunggu ada yang mau memberinya
uang di pinggir jalan. Ya, merekalah 4 orang Bapak yang begitu berharap uluran
tangan yang memberinya rezeki dari si pengguna jalan raya itu. Ada yang memberi
dengan melemparkan uang itu kepada mereka. Tidak langsung ke tangan mereka,
teman. Tapi uang itu dilemparkan kepada mereka dan mereka pun memungutnya di
jalan itu… Allah…. T_T
Teman, jika kalian
diberi uang dan orang itu memberinya dengan cara melemparkannya kepadamu,
bagaimana reaksimu? Saya yakin sebagian besar orang akan marah. Tapi tidak
dengan mereka. Mereka memungutinya dan mengucapkan “ALHAMDULILLAH” sembari
mendo’akan orang tersebut.
Entahlah… Apakah karena kemiskinan hidup yang mereka tanggung dan kerasnya perlakuan yang mungkin telah setiap hari mereka dapatkan membuat mereka ikhlas diperlakukan “tidak biasa”.
Entahlah… Apakah karena kemiskinan hidup yang mereka tanggung dan kerasnya perlakuan yang mungkin telah setiap hari mereka dapatkan membuat mereka ikhlas diperlakukan “tidak biasa”.
Bukankah mereka juga
manusia seperti kita? Bukankah mereka juga memiliki perasaan? Bahkan sebenarnya
manusia seperti merekalah yang lebih mudah untuk bersedih. Mereka tidak
seberuntung kebanyakan orang lain dalam memperoleh harta, maka haruskah kita
juga membuat mereka tidak seberuntung kebanyakan orang dalam memperoleh
perhatian dan kasih sayang? Ingatlah, mereka saudara kita. Karena sesungguhnya
kita dan mereka ibarat satu tubuh yang seharusnya jika satu bagian terluka,
yang lain juga ikut merasakannya.
Teman,kadang saat
kita sakit, kita juga sering mengeluh. “Kenapa saya harus menanggung penyakit
ini? Saya tidak sanggup”. Banyak lagi kalimat-kalimat yang menunjukkan keluhan
kita saat sebuah penyakit menjadi satu cobaan yang diberikan kepada kita.
Padahal, jika kita sakit, kita masih beruntung karena masih bisa dan memiliki
biaya untuk berobat ke sana ke mari. Kita masih bisa memilih tempat-tempat dan
obat-obat terbaik untuk mengobati penyakit kita. Kita masih bisa meminta ini
dan itu bermanja pada orang tua, kerabat, sahabat, ataupun teman untuk melepas
keinginan dan selera kita di kala sakit itu. Masih ada yang menjenguk dan memperhatikan.
Masih ada yang mengkhawatirkan kita. Tapi mereka? jangankan orang lain, mungkin
mereka sendiripun tidak peduli lagi penyakit apa yang mereka derita. Bukan
karena mereka dzalim terhadap diri mereka sendiri, tapi karena itulah, karena
terlalu banyak beban dan derita yang harus mereka pikul. Jika harus mengeluh
lagi, itu hanya akan memperpanjang daftar keluhan mereka, hanya akan
memperpanjang riwayat masalah mereka. Apakah akan usai? Tidak…karena mereka
begitu sadar bahwa hidup mereka tidak akan berubah dengan mengeluh dan
mengeluh.
Ah…… Ingin rasanya
memeluk mereka.
Tapi, andaikan diri
duduk di sampingnya, bukan mereka yang akan menangis. melainkan AKU. Karena si
“AKU” terlalu lemah. Bahkan jauh lebih lemah dari mereka siempunya dan
menanggung nasib itu………
Teman, jika hari ini
kita ingin mengeluh dengan sakit yang kita derita, ingatlah bahwa masih banyak
saudara kita yang mungkin lebih parah dari kita. Di luar sana mungkin ada dari
mereka yang tengah dalam kondisi lemah terbaring di atas tempat tidur rumah
sakit atau bahkan berada dalam keadaan sakaratul maut. “Na’udzubillah…
Jika hari ini kita
mengeluh dengan pekerjaan yang telah kita dapat, ingatlah bahwa di luar sana
msh banyak saudara kita yang berjuang dalam tapak demi tapak utk memperoleh
pekerjaan. Menapaki langkah hanya untuk mengumpulkan uang demi mengisi perut
hari ini, esok, dan esoknya lagi…
Jika hari ini kita
mengeluh kedinginan hanya krna tidak memiliki selimut, ingatlah ketika di luar
sana banyak saudara kita yang bahkan tidak memiliki tempat berteduh dari
dinginnya hujan dan udara yang mencekam tubuhnya. Bayangkanlah ketika mereka
hanya bisa duduk di antara toko-toko sembari memeluk lutut dengan tubuh yang
menggigil kedinginan…
Jika hari ini kita
masih mengeluh, berjalanlah keluar sana, peluklah tubuh itu atau sekedar
pandangilah ia, semoga kita bisa lebih bersyukur karenanya…
Sumber:
·
vie. zahrasyavie
0 comments:
Post a Comment