Manusia biasa
(awam) menyesali dosa-dosanya, Manusia pilihan menyesali kelalaiannya. (Dzun-Nun al-Mishri)
Semua dongeng,
paling tidak mengandung kebenaran tertentu dan seringkali dongeng-dongeng itu
memungkinkan masyarakat menyerap gagasan-gagasan yang sulit dipahami atau
bahkan tidak bisa dicerna jika disampaikan dalam bentuk pemikiran yang wajar.
Oleh karena itu, dongeng digunakan para guru Sufi untuk memberikan suatu
gambaran kehidupan yang lebih sejalan dengan perasaan mereka dibandingkan
melalui wahana kegiatan intelektual.
Berikut ini ada
sebuah dongeng Sufi yang telah dirangkum dan biasanya disesuaikan dengan masa
dongeng yang dikisahkan. Sementara dongeng-dongeng “hiburan” biasa, dipandang
oleh para penulis Sufi sebagai suatu bentuk kesenian yang telah merosot atau
lebih rendah nilainya.
Pada suatu masa
ada sebuah masyarakat yang hidup di sebuah pulau yang sangat terpencil. Para anggota
masyarakat ini tidak mempunyai rasa takut seperti kita saat ini. Alih-alih
ketidakpastian dan kegamangan, mereka mempunyai tujuan yang pasti dan cara-cara
yang lebih sempurna dalam mengekspresikan diri. Meskipun tidak ada tekanan dan
ketegangan sebagai unsur penting kemajuan bagi manusia sekarang. Kehidupan
mereka lebih kaya, karena sebab-sebab lain, yakni unsur-unsur kehidupan yang
lebih baik daripada kehidupan saat ini. Oleh karena itu, kehidupan mereka
adalah suatu bentuk eksistensi yang agak berbeda. Kita hampir bisa menyatakan
bahwa persepsi kita saat ini adalah versi sementara dan kasar dari persepsi
masyarakat ini.
Mereka
menjalani kehidupan sejati, bukan kehidupan semu. Kita dapat menyebut mereka
masyarakat El Ar.
Masyarakat ini
mempunyai seorang pemimpin yang menyadari bahwa negeri mereka akan punah,
katakanlah selama 20.000 (dua puluh ribu) tahun yang akan datang. Ia
merencanakan pengungsian dan menyadari bahwa keturunan mereka hanya akan
berhasil pulang kembali setelah melalui berbagai ujian.
Ia menemukan
sebuah tempat pengungsian bagi mereka, yaitu sebuah pulau yang sepintas lalu
bentuknya mirip dengan tanah air asal mereka. Karena perbedaan udara dan
situasi, para imigran itu harus melakukan transformasi. Tujuannya adalah untuk
menyesuaikan fisik dan mental mereka dengan lingkungan baru. Sebagai contoh,
persepsi-persepsi kasar diganti dengan persepsi yang lebih halus, seperti
tangan seorang pekerja kasar menjadi keras karena tuntutan pekerjaannya.
Untuk
mengurangi penderitaan akibat perbedaan antara keadaan lama dan baru itu,
mereka dikondisikan untuk melupakan masa lalu secara hampir menyeluruh. Hanya
kenangan masa lalu yang paling kuat tetap tersisa. Tetapi hal ini sudah memadai
untuk digunakan bila diperlukan.
Sistem
masyarakat ini sangat rumit namun tetap diatur dengan baik. Alat-alat untuk
bertahan hidup di pulau itu dibuat, demikian pula sarana-sarana hiburan fisik
dan mental. Alat-alat yang sangat berguna dari tanah air lama disimpan di
sebuah tempat khusus sebagai kenangan lama dan persiapan untuk digunakan di
kemudian hari.
Lambat laun dan
dengan susah payah akhirnya para imigran menetap dan menyesuaikan diri dengan
kondisi lokal. Sumber daya di pulau itu sedemikian rupa sehingga dengan upaya
dan bimbingan tertentu, masyarakat akhirnya bisa melanjutkan perjalanan ke
pulau berikutnya untuk kembali ke tanah asal mereka. Ini adalah pulau pertama
dari kepulauan lainnya yang masih membutuhkan penyesuaian secara bertahap.
Tanggung jawab
atas “evolusi” ini dibebankan kepada pribadi-pribadi yang mampu mengembannya.
Tentu saja tanggung jawab ini hanya untuk sebagian kecil orang, karena bagi
kebanyakan orang, upaya menjaga kedua bentuk pengetahuan itu dalam kesadaran
mereka niscaya tidak mungkin. Di antara mereka cenderung muncul pertentangan.
Hanya para ahli yang dapat menjaga “ilmu khusus” itu.
“Ilmu rahasia”
ini, yaitu metode mengefektifkan peralihan, tidak lain adalah pengetahuan dan
ketrampilan maritim. Kebebasan atau pengungsian membutuhkan seorang instruktur,
bahan baku, masyarakat, usaha dan pemahaman. Untuk itu masyarakat bisa belajar
renang sekaligus membangun kapal.
Orang-orang
yang sejak semula bertanggung jawab atas operasi pengungsian menjelaskan kepada
setiap orang bahwa persiapan tertentu diperlukan sebelum seseorang belajar
renang atau bahkan ikut serta dalam membangun kapal. Pada suatu masa, proses
tersebut berlangsung secara memuaskan.
Kemudian
seorang laki-laki yang pada saat itu ternyata kurang memenuhi persyaratan,
menentang aturan main dan berusaha mengembangkan suatu gagasan umum. Ia
mengamati bahwa pengungsian itu adalah tugas yang berat dan selalu disambut
dingin oleh masyarakat. Pada saat yang sama mereka juga diharapkan untuk
mempercayai segala sesuatu tentang operasi pengungsian. Ia menyadari bahwa
dirinya mampu meraih kekuasaan dan dapat membalas dendam kepada mereka yang
menurutnya telah merendahkan dirinya dengan mengeksploitasi dua kenyataan itu.
Ia sebenarnya
hanya ingin meninggalkan beban itu dan menegaskan bahwa (sebenarnya) tidak ada
beban yang perlu dipikul.
Kemudian ia
mengeluarkan pernyataan berikut ini:
“Manusia
sama sekali tidak perlu mengintegrasikan dan melatih pikiran sesuai dengan cara
yang telah dijelaskan kepada kalian. Pikiran manusia adalah suatu unsur yang
telah mantap, sinambung dan konsisten. Kalian telah dianjurkan bahwa kalian
harus menjadi seorang pengrajin dalam membangun kapal. Saya katakan bahwa
kalian tidak saja perlu menjadi pengrajin, tapi kalian juga sama sekali tidak
memerlukan kapal! Penghuni pulau ini hanya perlu menjaga aturan sederhana untuk
bertahan hidup dan menyatu dengan masyarakat. Dengan mempergunakan akal sehat
yang diberikan kepada setiap orang, ia bisa meraih apa saja di pulau ini,
sebagai rumah kita, milik umum dan warisan bagi setiap orang!”
Setelah
masyarakat sangat tertarik pada pernyataan ini, sang penghasut “membuktikan”
pesannya itu dengan mengatakan:
“Jika memang
ada realitas di dalam kapal dan renang itu, tunjukkan kepada kami kapal-kapal
yang telah melakukan perjalanan dan para perenang yang telah kembali!”
Hal ini adalah
tantangan berat bagi para instruktur. Perkataannya didasarkan pada asumsi yang
membingungkan masyarakat sehingga sekarang mereka tidak bisa melihat kekeliruan
asumsi itu. Anda tahu, tidak pernah ada kapal yang kembali dari pulau lain.
Jika memang para perenang kembali, mereka telah menyesuaikan diri dengan
keadaan baru sehingga tidak bisa dilihat oleh orang kebanyakan.
Namun kerumunan
ini menuntut bukti.
“Pembangunan
kapal,” kata para pengungsi kepada para pemberontak, “adalah sebuah seni
dan ketrampilan. Pengajaran dan pelatihan dalam ajaran ini membutuhkan
teknik-teknik khusus. Semua ini membentuk suatu aktivitas total yang tidak bisa
diuji secara parsial sesuai dengan tuntutan kalian. Aktivitas ini mempunyai
unsur yang tak terlihat, yakni apa yang disebut barakah. Inilah asal
kata barque — artinya sebuah kapal. Makna kata ini adalah ‘Kepelikan’
dan tidak dapat ditunjukkan kepada kalian.”
“Seni,
ketrampilan, totalitas, barakah, semua itu omong kosong!” teriak
kalangan revolusioner.
Kemudian mereka
menggantung setiap ahli pembuat kapal yang mereka temui.
Kitab suci baru
itu disambut hangat oleh semua kalangan sebagai salah satu sarana pembebasan.
Manusia telah menyadari bahwa dirinya telah dewasa! Setidaknya pada masa itu ia
merasa telah terbebas dari tanggung jawab.
Semua pola
pemikiran yang berbeda segera dimusnahkan oleh konsep revolusioner yang
sederhana dan nyaman itu. Konsep ini segera dipandang sebagai fakta dasar yang
tidak pernah ditentang oleh manusia rasional. Manusia rasional di sini
maksudnya seseorang yang menyesuaikan dengan teori umum itu. Berdasarkan teori
umum inilah masyarakat dibangun.
Setiap gagasan
yang menentang gagasan baru ini selalu disebut irasional. Sesuatu yang
irasional pasti jelek. Sejak itu, meskipun ada berbagai keraguan, individu
harus menekan dan membuangnya, sebab berapa pun biayanya ia harus dianggap
rasional.
Tidaklah
terlalu sulit untuk bersikap rasional. Seseorang hanya perlu mengikuti
nilai-nilai masyarakat. Lebih jauh lagi bukti kebenaran rasionalitas itu mudah
ditemukan — dengan syarat bahwa seseorang tidak berpikir di luar pola pemikiran
pulau itu.
Maka untuk
sementara, masyarakat telah menyesuaikan diri di pulau itu dan tampaknya bisa
memenuhi kebutuhan secara memadai jika dilihat dari cara-cara yang mereka
gunakan. Keadaan ini dicapai berkat akal dan emosi yang seolah-olah masuk akal.
Sebagai contoh, kanibalisme diperbolehkan karena ada alasan rasional, yaitu
bahwa tubuh manusia ternyata bisa dimakan. Kondisi ini adalah salah satu ciri
makanan. Oleh karena itu, tubuh manusia adalah makanan. Untuk menutupi cacat
dari cara berpikir ini, maka dibuat dalih. Kanibalisme dikontrol demi
kepentingan masyarakat. Kompromi ini merupakan ciri keseimbangan sementara.
Berulangkali seseorang mengarah pada suatu kompromi baru dan perjuangan antara
akal, ambisi dan masyarakat yang menghasilkan norma sosial baru.
Lantaran
ketrampilan membuat kapal tidak mempunyai cara penerapan yang jelas dalam
masyarakat ini, maka ia dengan mudah dipandang sebagai sesuatu yang absurd.
Perahu tidak diperlukan — tidak ada satu pun tempat tujuan. Berbagai
konsekuensi dari sebuah asumsi dapat dibuat untuk “membuktikan” kebenaran
asumsi tersebut. Inilah yang disebut kepastian semu, sebagai pengganti dari
kepastian sejati. Hal ini kita hadapi sehari-hari. Tetapi orang-orang pulau
menerapkannya kepada segala sesuatu.
Dua entri
dalam Island Universal Encyclopedia (Ensiklopedia Universal Pulau)
memaparkan cara kerja proses itu. Dengan menyaring hikmah dari nutrisi mental
mereka satu-satunya dan dengan segala kejujuran, para cendekiawan pulau
menghasilkan jenis kebenaran berikut ini:
Ship (Kapal): Sesuatu yang tak
menyenangkan. Sebuah kendaraan imajiner yang diklaim oleh para pendusta dan
penyeleweng sebagai alat untuk “menyeberangi air”, namun kini secara ilmiah
terbukti sebagai suatu kerancuan. Setiap bahan di pulau tersebut pasti
tenggelam. Padahal sebuah “kapal” dibuat dari salah satu bahan di pulau itu.
Selain itu orang meragukan apakah memang ada tujuan di luar pulau. Mengajarkan
“pembangunan kapal” adalah kejahatan besar menurut Undang-Undang XVII dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pasal J tentang Perlindungan terhadap
Orang-orang yang Mudah Terpedaya. Shipbuilding mania adalah suatu bentuk
ekstrim dari eskapisme mental, suatu gejala ketidakmampuan masyarakat
menyesuaikan diri. Setiap warga negara wajib memberitahukan kepada pejabat
berwenang jika mereka mencurigai kondisi tragis ini menimpa seseorang.
Lihat: Swimming;
Mental Aberrations; Crime (Major).
Bacaan: Smith,
J., Why “Ships” Cannot be Built, Island University Monograph No. 1151.
Swimming (Renang): Sesuatu yang tak
diakui. Diyakini sebagai suatu cara menggerakkan tubuh melewati air agar
tidak tenggelam; secara umum bertujuan “mencapai sebuah tempat di luar pulau”.
“Murid” dari seni yang tak diakui ini harus mematuhi sebuah ritual absurd.
Dalam pelajaran pertama, ia harus menelungkupkan tubuhnya di atas tanah dan
menggerakkan tangan serta kaki sesuai dengan petunjuk dari seorang
“instruktur”. Semua konsep itu berdasar pada keinginan para “instruktur” yang
mempunyai gaya tersendiri untuk menguasai orang-orang yang mudah terpedaya pada
masa primitif. Akhir-akhir ini, cara pemujaan itu telah menjelma sebuah wabah
kegilaan yang menyebar.
Lihat: Ship;
Heresies; Pseudoarts.
Bacaan: Brown,
W, The Great “Swimming” Madness, 7 volume, Institute of Social Lucidity.
Kata “tidak
menyenangkan” dan “tidak diakui” itu digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang
bertentangan dengan kitab suci baru itu. Kitab suci baru itu sendiri dikenal
sebagai ajaran yang “Menyenangkan”. Gagasan di baliknya adalah bahwa masyarakat
sekarang bisa menyenangkan dirinya sendiri, demi kepentingan umum dan
menyenangkan negara. Lembaga di sini dipahami sebagai lembaga yang mencakup
semua masyarakat.
Tidaklah mengejutkan
bila sejak awal niat meninggalkan pulau menimbulkan rasa takut luar biasa bagi
setiap orang. Demikian pula rasa takut bisa terlihat pada tahanan yang telah
lama di penjara dan akan dibebaskan. Dunia “luar” penjara adalah suatu dunia
yang samar, tidak dikenal dan menakutkan.
Pulau itu
bukanlah sebuah penjara. Tetapi ia adalah sebuah sangkar dengan jeruji-jeruji
yang tak terlihat, namun lebih efektif dibandingkan sangkar dengan
jeruji-jeruji yang terlihat.
Masyarakat
pulau kini semakin lebih kompleks. Kita hanya bisa melihat hal itu melalui
beberapa bentuknya yang mencolok. Kepustakaan mereka sangat kaya. Disamping
berbagai komposisi budaya, ada berbagai buku yang menjelaskan nilai-nilai dan
keberhasilan bangsa-bangsa. Demikian pula ada sebuah sistem fiksi alegoris yang
menggambarkan betapa kehidupan ini akan sengsara bila masyarakat tidak mengatur
diri dengan sistem yang diyakini saat ini.
Dari waktu ke
waktu para instruktur berusaha membantu seluruh masyarakat untuk meloloskan
diri. Para kapten kapal mengabdikan dirinya untuk menciptakan kembali suatu
iklim kondusif bagi para pembuat kapal yang kini bersembunyi melanjutkan
pekerjaannya. Semua upaya ini ditafsirkan oleh para sejarawan dan sosiolog
dengan merujuk pada berbagai keadaan di pulau itu tanpa berniat untuk melakukan
hubungan di luar masyarakat yang tertutup ini. Berbagai penjelasan yang masuk
akal tentang hampir semua hal secara komparatif mudah diberikan. Tidak ada
prinsip etik, sebab para sarjana tetap mengkaji apa yang dipandang benar dengan
penuh ketulusan. “Apa lagi yang bisa kita kerjakan?” Kata “lagi”
mengimplikasikan bahwa alternatif itu mungkin merupakan suatu upaya
kuantitatif. Atau mereka saling bertanya, “Adakah hal lain yang bisa
kita kerjakan?” dengan asumsi bahwa jawabannya mungkin terletak pada kata
“lain” itu — sesuatu yang berbeda. Masalah mereka sebenarnya adalah anggapan
mereka bahwa dirinya mampu untuk merumuskan pertanyaan dan mengabaikan fakta
bahwa pertanyaan sepenting jawaban.
Para penghuni
pulau niscaya mempunyai ruang lingkup pemikiran dan tindakan yang luas dalam
bidang mereka sendiri yang sempit. Berbagai gagasan dan perbedaan pendapat yang
muncul mengesankan kebebasan berpikir. Pemikiran digalakkan dengan syarat tidak
“absurd”.
Kebebasan
berbicara diperbolehkan. Tetapi hal ini sedikit manfaatnya tanpa mengupayakan
pengembangan pemahaman.
Kerja dan
empati dari para navigator harus mengambil aspek lain sesuai dengan berbagai
perubahan di dalam masyarakat. Hal ini justru membuat realitas mereka jauh
lebih membingungkan bagi para murid yang berusaha mengikuti mereka dari sudut
pandang yang berlaku di pulau itu.
Di
tengah-tengah semua kebingungan ini, kemampuan untuk menyadari kemungkinan
meloloskan diri pada masa-masa tertentu bahkan bisa menjadi kendala. Kesadaran
potensial yang mendorong untuk meloloskan diri tidaklah begitu jelas. Yang
lebih sering terjadi adalah para calon pelarian yang bersemangat itu menerima
suatu pengganti. Suatu konsep navigasi yang kabur tidak akan berguna tanpa
orientasi. Bahkan para pembuat kapal yang paling bersemangat sekalipun dilatih
untuk meyakini bahwa mereka telah mempunyai orientasi itu. Mereka telah matang.
Mereka membenci setiap orang yang menunjukkan bahwa mereka mungkin memerlukan
persiapan.
Cara-cara
berenang atau membuat kapal yang aneh itu seringkali tidak memungkinkan untuk
mencapai kemajuan yang sesungguhnya. Yang layak dikecam adalah para pembela
renang semu atau kapal-kapal alegoris. Mereka hanyalah penipu yang menawarkan
pelajaran kepada mereka yang masih terlalu lemah untuk berenang atau menulis
tentang kapal yang tidak bisa mereka bangun.
Pada mulanya
masyarakat membutuhkan pola-pola efisien dan pemikiran tertentu yang berkembang
menjadi apa yang dikenal dengan ilmu. Pendekatan yang patut dipuji ini akhirnya
melampaui arah yang sebenarnya dengan pola penerapan yang begitu mendasar.
Setelah revolusi “menyenangkan”, pendekatan “ilmiah” itu cepat meluas sampai
mempengaruhi setiap pemikiran. Akhirnya segala sesuatu yang tidak bisa
dimasukkan ke dalam ikatannya dikenal dengan istilah “tidak ilmiah”, istilah
sinonim lain dari kata “buruk”. Tanpa disadari, kata-kata ini telah mengungkung
dan otomatis memperbudak masyarakat.
Lantaran tidak
adanya sikap sejalan, seperti orang yang membuang waktu dan kemampuannya di
ruang tunggu dengan membaca-baca majalah, orang-orang pulau itu menyibukkan
diri untuk menemukan pengganti pemuasan diri sebagai tujuan asal (dan
sesungguhnya tujuan akhir) dari masyarakat yang terbuang ini.
Sebagian
relatif mampu dan berhasil mengalihkan perhatian pada komitmen-komitmen yang
secara mendasar bersifat emosional. Ada berbagai tingkatan emosi, namun tidak
ada cara yang memadai untuk mengukurnya. Setiap emosi dianggap sebagai suatu
yang “dalam” dan “kuat” — pada tingkat apa pun lebih kuat dari tingkat lainnya.
Emosi yang dipandang bisa menggerakkan masyarakat secara fisik dan mental
sampai pada titik ekstrim, otomatis disebut sebagai kekuatan “dalam”.
Sebagian besar
masyarakat menentukan target bagi dirinya sendiri atau membiarkan orang lain
menentukannya sendiri.
Mereka mungkin
mengejar suatu penghargaan, uang atau status sosial. Sebagian menyembah sesuatu
dan merasa dirinya lebih unggul dari lainnya. Dengan menolak apa yang dianggap
sebagai penyembahan, sebagian orang mengira bahwa mereka tidak memiliki
berhala. Karena itu mereka mencibir setiap bentuk penyembahan.
Setelah
berabad-abad lamanya, pulau itu dipenuhi dengan berbagai kepingan cara
pemujaan. Yang lebih buruk adalah kepingan-kepingan ini ternyata mampu
mempertahankan diri. Orang-orang yang bermaksud baik dan bermaksud
menggabungkan cara pemujaan ini serta memadukan kepingan-kepingannya, ternyata
menyebarkan suatu cara pemujaan baru. Bagi kalangan amatir dan intelektual, hal
ini adalah suatu tambang bagi kajian akademis atau “bahan awal” yang menarik
karena keanekaragamannya.
Fasilitas-fasilitas megah untuk
memanjakan “kepuasan” tertentu berkembang pesat. Istana dan monumen, museum dan
universitas, lembaga pendidikan, panggung teater, dan arena olah raga hampir
memenuhi pulau tersebut. Masyarakat biasanya merasa bangga dengan kemakmuran
ini. Biasanya kemakmuran ini dianggap sebagai kebenaran terakhir, meskipun
tentu saja kebenaran ini sama sekali luput dari perhatian mereka semua.
Pembangunan
kapal berkaitan dengan beberapa dimensi dari kegiatan itu, namun dengan cara
yang hampir tidak dikenal semua orang.
Secara
sembunyi-sembunyi, kapal-kapal memancangkan layar dan para perenang terus
mengajarkan cara berenang …
Berbagai
kondisi di pulau itu tidak sepenuhnya menimbulkan rasa takut bagi orang-orang
yang penuh pengabdian tersebut. Di atas segalanya, mereka juga berasal dari
masyarakat yang sama. Mereka mempunyai ikatan yang tak terpisahkan dan nasib
yang sama dengan pulau itu.
Namun mereka
seringkali harus menjaga diri dari perhatian saudara-saudaranya sesama penghuni
pulau. Sebagian penghuni pulau yang “normal” mencoba menyelamatkan diri dari
situasi itu. Yang lain berusaha membunuh mereka dengan alasan-alasan yang sulit
dipahami. Sebagian bahkan berusaha membantunya dengan penuh semangat, tetapi
tidak bisa menemukan mereka.
Setiap reaksi
terhadap eksistensi para perenang ini adalah akibat dari sebab yang sama.
Penyebabnya adalah karena sekarang hampir tidak ada orang yang mengetahui apa
sesungguhnya perenang itu, apa yang dilakukannya, di mana ia bisa dijumpai?
Ketika
kehidupan di pulau itu semakin beradab, suatu industri aneh tetapi logis
berkembang pesat. Industri ini dicurahkan untuk menetapkan keraguan atas
keabsahan sistem dasar kehidupan masyarakat. Industri ini berhasil menimbulkan
keraguan atas nilal-nilai sosial dengan menertawakan atau menyindirnya.
Aktivitas ini bisa mendatangkan kebahagiaan atau kesengsaraan, tetapi ia
sebenarnya semacam ritual yang diulang-ulang. Sementara sebuah industri
potensial dan berharga seringkali dirintangi untuk melaksanakan fungsi
kreatifnya yang nyata.
Setelah
keraguan untuk mengungkapkan diri sementara, masyarakat merasa bahwa dengan
cara tertentu mereka akan mengurangi, membuang dan melarutkan keraguan itu.
Satire diterima sebagai kiasan bermakna. Kiasan ini diterima namun tidak
dipahami. Drama, buku, film, puisi dan plesetan adalah media umum bagi
perkembangan itu, meskipun ada sebuah bagian penting yang termasuk dalam
bidang-bidang yang lebih akademis. Bagi kebanyakan penghuni pulau, hal ini
lebih membebaskan, lebih modern atau lebih progresif dibandingkan cara-cara
pemujaan yang lebih tua.
Di sana-sini,
seorang calon masih menemui seorang instruktur renang dan menyampaikan
penawaran untuk ikut belajar renang. Biasanya penawaran itu berakhir pada
pembicaraan khas berikut ini:
“Saya ingin
belajar renang.”
“Apakah engkau
ingin menawarkan diri untuk itu?”
“Tidak, hanya
saja saya harus membawa bekal seberat satu ton.”
“Bekal apa?”
“Makanan yang
dibutuhkan di pulau lain.”
“Di sana ada
makanan yang lebih baik.”
“Saya tidak
mengerti apa yang engkau maksudkan. Saya tidak yakin. Saya harus membawa
bekal.”
“Engkau tidak
bisa berenang dengan membawa bekal satu ton di punggungmu.”
“Jika demikian
saya tidak bisa pergi. Engkau menyebutnya beban. Saya menyebutnya bekal makanan
yang sangat penting.”
“Sebagai sebuah
kiasan, andaikata kita tidak menyebut ‘bekal makanan’, namun ‘asumsi’ atau
‘gagasan yang merusak’.”
“Saya akan
membawa bekal ini kepada instruktur yang memahami kebutuhan saya.”
Buku ini membicarakan tentang beberapa
perenang dan pembuat kapal serta beberapa orang yang berusaha mengikuti mereka
dan relatif berhasil. Dongeng ini belum berakhir, sebab masih ada masyarakat di
pulau itu.
Para Sufi
menggunakan berbagai simbol rahasia untuk menyampaikan maksud mereka. Dengan
menyusun kembali nama dari masyarakat asal itu — El Ar — maka akan
terbaca Real (Sejati). Mungkin Anda telah mengamati bahwa nama yang
digunakan oleh kalangan revolusioner itu — Please (Menyenangkan) — jika
disusun kembali akan membentuk kata Asleep (Tertidur).
Kisah ini
dikutip dari buku “Mahkota Sufi: Menembus
Dunia Ekstra Dimensi“,
oleh Idries Shah. Penerbit Risalah Gusti, Cetakan
Pertama Shafar 1421H, Juni 2000.
0 comments:
Post a Comment